PERSPEKTIF ETNOSAINS DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR




ABSTRAK

Etnosains merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran di Sekolah Dasar. Pembelajaran di Sekolah Dasar terdiri atas berbagai materi ajar (subject matter), dimana setiap materi diintegrasikan kedalam tema-tema pembelajaran sesuai dengan Kompetensi Dasar (KD) yang ditargetkan. Tanpa mengurangi tema yang diramu dari Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD), etnosains dapat memperkuat tema-tema pembelajaran dengan membuat kaitan antara materi ajar dengan budaya. Pengintegrasian etnosains dalam pembelajaran dapat menggambarkan secara jelas kekhasan materi ajar, lingkungan belajar, proses pembelajaran, dan penilaian pembelajaran. Melalui pembelajaran berbasis etnosains peserta didik akan melakukan observasi langsung sehingga dapat mengidentifikasi pertanyaan ilmiah, menjelaskan fenomena secara ilmiah, dan dapat membuat kesimpulan. Pengetahuan berbasis etnosains bukan hanya tentang kearifal lokal, tetapi pengetahuan abstrak yang terkandung dalam budaya itu sendiri. Misalnya tentang budaya yang berkaitan dengan ritual adat daerah setempat, tanaman obat-obatan tradisional, rumah adat, dan pengetahuan budaya lainnya yang relevan dengan tema pembelajaran. Dengan pengintegrasian pembelajaran berbasis etnosains maka pembelajaran yang berlangsung dapat menggali pengetahuan deklaratif peserta didik dan pengetahuan prosedural yang mengacu pada konstruktivisme. Pembelajaran berbasis etnosains membawa pengaruh terhadap proses pembelajaran di Sekolah Dasar yakni; (1) pengaruh positif akan muncul jika pembelajaran di sekolah yang sedang dipelajari selaras dengan pengetahuan budaya peserta didik sehari-hari yang disebut pembelajaran inkulturasi; (2) pembelajaran yang berpusat pada peserta didik akan berjalan efektif, karena proses asimilasi dan akomodasai belajar  akan berjalan dengan efektif. Hal ini dapat mendukung peserta didik untuk memecahkan masalah pembelajaran karena mengintegrasikan pengetahuan dengan pengalaman yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.

Kata Kunci: Etnosains dan Pembelajaran


PENDAHULUAN

Pembelajaran berbasis etnosains merupakan pembelajaran kontekstual yang berlandaskan pandangan konstruktivisme dengan mengutamakan pembelajaran bermakna. Pembelajaran yang bermakna merupakan pembelajaran yang dikemas sesuai dengan karakteristik peserta didik. Johnson (2014:64) pembelajaran yang bermakna memungkinkan peserta didik belajar sambil mekakukan atau “learning by doing”. Learning by doing menyebabkan peserta didik mampu menghubungkan materi pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman-pengalaman hidup peserta didik. Pembelajaran bermakna sesuai dengan proses pembelajaran dalam kurikulum 2013.
Proses pembelajaran di Sekolah Dasar dalam kurikulum 2013 dilaksanakan dengan sebagai berikut. 1) Mengamati, menanya, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. 2) Belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga dilingkungan, sekolah, dan masyarakat. 3) Guru bukan satu-satunya sumber belajar. 4) Sikap diajarkan melalui contoh dan teladan (Permendikbud, 2013:24). Untuk mewujudkan proses pembelajaran seperti ini ditawarkan pembelajaran berbasis etnosains.
Etnosains merupakan pengetahuan budaya yang dimiliki suatu daerah dan bangsa. Parris (2010) menyatakan pembelajaran berbasis etnosains sangat diperlukan bagi peserta didik, karena akan mengajarkan sikap cinta terhadap budaya dan bangsa, dan memperkenalkan kepada peserta didik tentang potensi-potensi sebuah daerah sehingga lebih mengenal budaya daerahnya.
Berdasarkan pada beberapa penelitian terdahulu yakni; 1) Davison & Miller (1998)  tentang peserta didik Indian Amerika, hasilnya menemukan makna pembelajaran khususnya matematika dan sains, ketika etnosains diintegrasikan dalam pembelajaran. Peserta didik dapat memahami materi dengan baik saat dikoneksikan dengan pengetahuan budaya. 2) Solomon  dalam Baker, et.al., (1995) menyatakan konsep-konsep sains dikembangkan di sekolah tidak berjalan mulus, karena tidak dipengaruhi kuat oleh faktor-faktor sosial budaya, khususnya konsepsi awal dan kegemaran peserta didik. 3) Stanley dan Brickhouse (2001) menyarankan agar sains barat dan sains tradisional diseimbangkan dalam pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan lintas budaya.
Pembelajaran yang menggunakan konsep budaya sebagai sumber belajar, dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menggunakan pengetahuan. Hal ini berkaitan dengan teori Vygotsky yang menitik beratkan interaksi dari faktor-faktor interpersonal (sosial), kultural – historis, dan individual sebagai kunci dari perkembangan manusia. Tudge & Scrimsher (2003) dalam Schunk (2012:339) perubahan kognitif terjadi dalam ZPD (zone of proximal development) ketika guru dan peserta didik berbagi alat-alat budaya dan interaksi dengan mediasi budaya.  Interaksi guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran akan mengkonstruksi pengetahuan peserta didik, sehingga dapat memahami kajian materi yang diberikan oleh guru.
Kenyataannya sekarang proses pendidikan formal cendrung dipandang sebagai proses pembelajaran yang terpisah dari proses enkulturasi dan terpisah dari konteks suatu komunitas budaya. Pengetahuan tentang kebudayaan merupakan pengetahuan yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat. Namun yang terjadi pengetahuan tentang kebudayaan sudah terkikis dan tergantikan oleh pengetahuan budaya asing yang sama sekali tidak dipahami. Agar eksistensi budaya tetap kukuh, maka kepada peserta didik sebagai generasi penerus bangsa perlu ditanamkan rasa cinta akan kebudayaan di daerah. Pembelajaran berbasis etnosains diharapkan diintegrasikan kedalam tema pembelajaran dan materi ajar, sehingga dapat berkontribusi dalam peningkatan pemahaman materi dan pembentukan karakter peserta didik.  
Dari pemaparan di atas ada beberapa masalah utama dalam proses pembelajaran sekarang ini yakni, 1) perubahan paradigma pembelajaran dalam kurikulum 2013. Pengetahuan yang dipandang sebagai sesuatu yang sudah jadi, yang tinggal ditransfer dari guru ke peserta didik berubah menjadi pengetahuan yang merupakan hasil konstruksi atau hasil transformasi seseorang yang belajar. 2) Banyak orang memandang mata pelajaran di sekolah memiliki tempat yang lebih tinggi (social prestige), dari pada tradisi budaya yang dipandang tidak berarti dan rendah (discredition). 3) Tantangan pendidikan abad – 21 dalam paradigma pembelajaran yang dilaksanakan.
Pembelajaran diarahkan untuk mendorong peserta didik mencari tahu dari berbagai sumber observasi, bukan diberi tahu, mampu merumuskan masalah, melatih berpikir analitis, menekankan kerjasama, dan kolaborasi dalam menyelesaikan masalah.

PEMBAHASAN

Pembelajaran Berbasis Budaya Dalam Kurikulum 2013
Kurikulum 2013 menyatukan sekolah dan masyarakat pada dimensi pendidikan. Permendikbud (2013:23) struktur kurikulum yang di kembangkan dalam kurikulum 2013 di Sekolah Dasar bersifat holistik berbasis sains (alam, sosial, dan budaya). Melalui pembelajaran berbasis etnosains peserta didik akan melakukan observasi langsung sehingga siswa dapat mengidentifikasi pertanyaan ilmiah, menjelaskan fenomena secara ilmiah, dan dapat membuat kesimpulan. Pengetahuan budaya bukan hanya tentang kearifal lokal, tetapi pengetahuan abstrak yang terkandung dalam budaya itu sendiri. Misalnya mengenai filosofi kehidupan bermasyarakat. Ini dapat dikembangkan dalam tema pembelajaran, sehingga nilai-nilai budaya dapat menjadi pengembangan karakter bagai peserta didik.
Etnosains sangat relevan dengan landasan filosofi pengembangan kurikulum 2013. Hartanto (2013:3) kurikulum 2013 dikembangkan dengan menggunakan filosofi yakni, 1) pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun kehidupan bangsa masa kini dan masa mendatang. Artinya dalam kurikulum 2013 dikembangkan berdasarkan budaya bangsa Indonesia yang beragam dan diarahkan untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan. 2) Peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut pandangan filosofi ini, prestasi bangsa diberbagai bidang kehidupan dimasa lampau adalah sesuatu yang harus termuat dalam isi kurikulum untuk dipelajari peserta didik. Kurikulum 2013 memposisikan keunggulan budaya untuk dipelajari, diaplikasikan, dan dimanifestasikan dalam kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnnya, dan dalam kehidupan berbangsa masa kini. 3) Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan kecemerlangan akademik melalui pendidikan disiplin ilmu. 4) Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik. Keberhasilan proses pembelajaran di sekolah sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang dimiliki oleh peserta didik atau masyarakat dimana sekolah itu berada. Hal ini senada yang dikemukakan Ibrahim, dkk., (2002:5) yang dikutip oleh Tandililing (2014) yang menyatakan bahwa selain landasan filosofis, psikologis dan ilmu pengetahuan serta teknologi (IPTEK), landasan sosial budaya harus dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum karena pendidikan selalu mengandung nilai yang harus sesuai dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Sampai saat ini jarang ditemukan pembelajaran dengan mengintegrasikan pembelajaran berbasis etnosains dalam pembelajaran, baik metode pembelajaran, materi pembelajaran, maupun penilaian pembelajaran. Usaha untuk mengintegrasikan pembelajaran berbasis etnosains kedalam kurikulum pembelajaran Sekolah Dasar, agar dapat mengakomodasi perbedaan kultural peserta didik, memanfaatkan sumber kebudayaan sebagai sumber konten pembelajaran, dan memanfaatkannya sebagai titik berangkat untuk pengembangan kebudayaan itu sendiri.
Dengan demikian, pembelajaran berbasis budaya membawa pengaruh terhadap proses pembelajaran peserta didik yaitu; 1) pengaruh positif akan muncul jika pembelajaran di sekolah yang sedang dipelajari selaras dengan pengetahuan budaya peserta didik sehari-hari. Proses pembelajaran seperti ini disebut dengan pembelajaran inkulturasi; 2) pembelajaran yang berpusat pada peserta didik akan berjalan efektif, karena proses asimilasi dan akomodasi belajar dari peserta didik akan berjalan dengan efektif. Hal ini dapat mendukung peserta didik untuk memecahkan masalah pembelajaran dengan mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.

Identifikasi Etnosains Dalam pembelajaran Di Sekolah Dasar
Secara etimologi etnosains berasal dari kata Yunani yakni “ethnos” yang berarti bangsa dan “scientia” yang berarti pengetahuan Werner (1972:539) dalam Hume (1999:13). Etnosains adalah pengetahuan tentang kebudayaan.  Selanjutnya menurut Sturtevant (1961:99) yang dikutip oleh Hume (1999:12) mendefenisikan etnosains sebagai “system of knowledge and cognition typical of a given culture”, artinya sistem kognitif dan pengetahuan biasanya diperoleh melalui budaya. Penekanannya adalah pada sistem pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat. Sebagai sebuah paradigma, etnosains menggunakan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan paradigma-paradigma lain dalam antropologi budaya.
Suyono (1985:133) etnosains dalam kamus antropologi diartikan sebagai suatu kebudayaan dengan cara pendekatan  menggunakan pengetahuan yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang dipelajari. Menurut perspektif antropologi, pengajaran dianggap sebagai transmisi budaya (cultural transmission) dan pembelajaran sebagai penguasaan budaya (cultural acquisition). Proses kegiatan belajar mengajar di kelas dapat diibaratkan sebagai proses pemindahan dan perolehan budaya dari guru dan oleh peserta didik. Untuk pembatasan, kata budaya (culture) yang dimaksud adalah suatu sistem atau tatanan tentang simbol dan arti yang berlaku pada interaksi sosial suatu masyarakat. Secara khusus dinyatakan bahwa perasaan dan pemahaman peserta didik yang berlandaskan kebudayaan dimasyarakatnya ikut serta berperan dalam menginterpretasikan dan menyerap pengetahuan yang baru. Etnosains adalah cabang pengkajian budaya yang berusaha memahami bagaimana pribumi memahami alam. Pribumi biasanya memiliki ideologi dan falsafah hidup yang mempengaruhi mereka mempertahankan hidup. Jadi, etnosains merupakan salah satu bentuk etnografi baru karena melalui etnosains mampu membangun teori yang berbasis etno.
Bentuk etnosains akan lebih muda diidentifikasi melalui proses pembelajaran, pemetaan tema pembelajaran dengan menelaah kompetensi inti (KI), kompetensi dasar (KD), dan melalui penilaian pembelajaran. Etnosains dapat dibedakan menjadi dua pendekatan yaitu pendekatan ekologi dan pendekatan prosesual. Pendekatan ekologi mencakup antroposentrisme dan ekosentrisme. Pendekatan prosesual mencakup pentransformasian budaya. Pendekatan ekologi menelaah tentang alam, misalnya pemanfaatan obat-obatan tradisional dan pemanfaatan alam untuk kelangsungan hidup manusia. Contoh praktis, cara mengatasi kerusakan lingkungan dengan pendekatan budaya, melalui ritual-ritual adat, budaya bercocok tanam dengan prinsip budaya yang berbeda-beda tiap daerah, dan sebagainya. Pendekatan prosesual yaitu tentang pentransformasian budaya, seperti dongeng, tembang, permainan-permainan, rumah adat, ritual adat, dan produksi lokal dari daerah setempat.  
Dari contoh-contoh di atas, etnosains dapat diintegrasikan dalam pembelajaran di Sekolah Dasar dengan berbagai tema pembelajaran. Dengan pembelajaran berbasis etnosains siswa bisa mengenal nilai-nilai yang terkandung dalam suatu kebudayaan. Sehingga, pengetahuan merupakan hasil konstruksi dari pengetahuan peserta didik itu sendiri. Selain itu, proses pembelajaran tidak selalu terjadi di dalam kelas, tetapi pembelajaran bisa berlangsung di luar kelas (outdoor class). Peserta didik dapat menggali langsung pengetahuan pada praktisi budaya setempat melalui wawancara atau mengobservasi langsung kegiatan-kegiatan budaya yang relevan dengan proses pembelajaran, sehingga metode pembelajaran yang digunakan bervariasi. Proses pendidikan adalah suatu proses pengembangan potensi peserta didik sehingga mereka mampu menjadi pewaris dan pengembang budaya bangsa. Permendikbud (2012:5) melalui pendidikan berbagai nilai dan keunggulan budaya di masa lampau diperkenalkan, dikaji, dan dikembangkan menjadi budaya dirinya, masyarakat, dan bangsa yang sesuai dengan zaman dimana peserta didik tersebut hidup dan berkembang. Kemampuan menjadi pewaris dan pengembang budaya tersebut akan dimiliki peserta didik apabila pengetahuan, kemampuan intelektual, sikap dan kebiasaan, serta keterampilan sosial memberikan dasar untuk secara aktif mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara.



Implementasi Etnosains Dalam Pembelajaran Di Sekolah Dasar
Perubahan paradigma pembelajaran dari pengajaran menjadi membelajarkan adalah proses belajar yang berpusat pada peserta didik. Mengkonstruksi  pengetahuan secara aktif, kreatif, inovatif, dengan menjalankan berbagai strategi yang bervariasi dapat membantu peserta didik untuk belajar (Arends, 2013). Dari proses pembelajaran ini, paradigma pembelajaran diharapkan berubah dari yang berpusat pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Pembelajaran berpusat pada peserta didik (student centred learning) menjadi ciri pembelajaran kurikulum 2013 yang merujuk pada teori konstruktivisme.  Peserta didik ditempatkan sebagai individu yang memiliki bibit ilmu di dalam dirinya dengan berbagai aktifitas atau kegiatan untuk yang mengembangkan pemahaman konsep bermakna. Dalam pandangan pembelajaran kurikulum 2013 peserta didik perlu dan harus mengkonstruksi pengetahuan melalui penalaran peserta didik sendiri dengan inkuiri dan pemecahan masalah (problem solving).
Hal ini dinyatakan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat 20 yaitu pembelajaran merupakan sebuah proses interaksi aantara peserta didik, pendidik, dan sumber belajar dalam suatu lingkungan belajar. Dalam melaksanakan pembelajaran peserta didik harus terlibat secara aktif dalam berpikir tingkat tinggi (high order thinking). Untuk itu, guru sebagai fasilitator harus menerapkan metode pembelajaran, pendekaatan pembelajaran, dan strategi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Selain pendekatan, model, dan straegti pembelajaran yang perlu diperhatikan adalah lingkungan belajar. Lingkungan belajar harus menarik, kondusif, dan mampu membangkitkan gairah belajar bagi siswa. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mengacu pada pembelajaran kontekstual, dimana siswa dapat mengaitkan pengalaman nyata dengan materi yang diajarkan. Pengalaman nyata siswa tidak terlepas dari pengetahuan tentang budaya yang mereka miliki. Pengetahuan budaya merupakan pengetahuan riil yang dimiliki dari pengalaman hidup.
Perspektif Etnosains
Kurikulum 2013
Pembelajaran di SD
Perangkat pembelajaran
Metode pembelajaran
menggunakan
diintegrasikan
Tema-tema pembelajaran
Pengembangan KI
K1 : Spiritualitas
K2 : Sosial
K3  : Pengetahuan
K4 : Keterampilan

Pembelajaran berbasis etnosains mengacu kepada karakteristik etnosains  Snively dan Corsigli (2001:12), dimana etnosains ada dalam berbagai kehidupan masyarakat tradisional seperti ekologi, botani, hortikultura, matematika, dan sebagainya.













Bagan 1. Modifikasi karakteristik pengetahuan tradisional (etnosains) Snively & Corsiglia (2001:12)
Langkah-langkah pengembangan pembelajaran berbasis etnosains yakni sebagai berikut.
1.      Pemetaan kompetensi inti dan kompetensi dasar
2.      Pemetaan muatan pembelajaran dengan menyusun pembelajaran berbasis etnosains yakni, membuat silabus, pemetaan tema, menentukan metode yang diterapkan, media pembelajaran dan lingkungan belajar.
3.      Mengembangkan instrumen penilaian yang digunakan dalam proses pembelajaran.
Tahapan pengembangan etnosains dalam implementasinya dapat dilihat pada bagan 2. Di bawah ini.

Bagan 2. Tahap pengembangan Etnosains dalam pembelajaran
Dari bagan 2. di atas, pembelajaran etnosains diintegrasikan kedalam materi yang bersifat deklaratif dan prosedural. Materi yang dikembangkan berorientasi pada lingkungan budaya dan pengetahuan budaya. Pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan pembelajaran saintifik (scientific Aprroach) melalui model pembelajaran diskoveri, inkuiri, PBL, PjBL, dan KPS (keterampilan proses).
Tujuan implementasi etnosains dalam pembelajaran yakni sebagai berikut.
1.        Mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budaya.
2.        Memberikan bekal kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya maupun lingkungan masyarakat pada umumnya.
3.        Membekali sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai aturan-aturan yang berlaku didaerahnya serta melestarikan dengan mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat.
4.        Berperan serta dalam membentuk karakter bangsa dan membentuk karakter dari peserta didik.
5.        Melestarikan budaya bangsa.






PENUTUP

Pembelajaran etnosains merupakan strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses pembelajaran di Sekolah Dasar. pembelajaran berbasis budaya diimplementasikan dalam pembelajaran di Sekolah Dasar dengan cara mengintegrasikan budaya yang berkembang di masyarakat kedalam pembelajaran tersebut. Keterlibatan aktif dalam belajar akan memunculkan niali-nilai yang ditanamkan melalui pengalaman hidup dan rasa empati terhadap lingkungan dengan demikian guru tidak hanya menyampaikan secara teori, namun juga dapat mentransferkan nilai-nilai apa yang diambil dari kegiatan pembelajaran melalui pendidikan karakter. Pengintegrasikan etnosains kedalam pembelajaran akan lebih efektif, jika dimasukkan kedalam materi pokok. Latar belaakng budaya yang dimiliki peserta didik berpengaruh terhadap proses pembelajaran peserta didik dalam usahanya menguasai konsep-konsep pembelajaran yang diajarkan di sekolah. Kurikulum hendaknya memperhatikan dan peduli terhadap sistem sosial yang berkembang dan berlaku di suatu masyarakat. Pengembangan kurikulum perlu mengintegrasikan etnosains agar proses pembelajaran peserta didik menjadi lebih bermakna dan kontekstual.

















DAFTAR P USTAKA

Arends, R. I. (2013). Belajar Untuk Mengajar: Learning To Teach. Jakarta: Salemba Humanika.
Baker. D. et. al. (1995). The Effect of Culture on The on The Learning of Science in Non – Western Countries: The Results of a Integrated Research Review. International Journal Science Education. Vol. 17 (6).

Davison, D. M. & Kenneth W. M. (1998). An Ethnoscience Approach to Curriculun Issues for American Indian Students. International Journal school science and mathematics. vol. 98 (1).

Hartanto, S. (2013). Ringkasan Peta Kompetensi Di Semua Satuan Pendidikan sesuai kurikulum 2013. Artikel. Diunduh tanggal 5 Januari 2017 dari alamt website http://lppks.kemdikbud.go.id/file/PETA_KOMPETENSI_KURIKULUM_2013.pdf

Hume, D. W. (1997). Towards a Synthesis Of Ethnoscience And Symbolic Anthropology: An Ethnography Of Surgical Culture. Thesis. California State University, Fullerton.

Johnson, E. B. (2014). CTL (Contextual Teaching & Learning). Bandung: Kaifa.

Parrish, P. (2010). Cultural Dimensions Of Learning: Addressing The Challenges of Multicultural Instruction. International Journal. Vol. 11 (2). Pp. 5-32

Permendikbud. (2012). Dokumen Kurikulum 2013. Jakarta

Permendikbud. (2013). Struktur Kerangka Kurikulum 2013. Jakarta

Komentar

  1. New Jersey casino gets $14M after paying out $20m
    casino in New Jersey, 충주 출장마사지 $14 million, won by casino mogul Steve 순천 출장안마 Wynn. 경기도 출장마사지 The company's $14 million payout 정읍 출장안마 matched Wynn's 구리 출장마사지 payout at

    BalasHapus

Posting Komentar